Cerita "Cookpad Mengajar" dari Widjie Astuti

Meski harus menghadapi gejolak dalam batinnya, langkah Widjie Astuti teguh dalam berkarya mengamalkan ilmunya demi kebaikan. Kali ini, mari kita mengenal lebih dekat salah satu sosok di balik Cookpad Mengajar yang berkarya dari Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Jujur, aplikasi Cookpad membuat saya semakin banyak tahu, semakin bertambah ilmu, semakin banyak teman, sahabat & kerabat, semakin membuat saya ingin terus belajar dan belajar.

Meski saya tinggal di pelosok desa, namun dengan alat seadanya, bahan sederhana, bumbu-bumbu simpel, terbuatlah masakan-masakan sederhana untuk keluarga, dari pawon saya.

Ketika akhirnya aktif bergabung sebagai pengajar di Cookpad Mengajar, saya sempaat ragu untuk tampil di depan lebih banyak orang. Namun inilh konsekuensi dari sebuah jawaban "iya" - jadi apapun gejolak dalam hati, harus bisa diatasi.

Hal yang terlintas dalam benak saya sebelum kelas pertama: "Apakah aku mampu?" "Memangnya aku punya apa, ya?" Sebabnya, saya merasa apa yang telah saya terbitkan di Cookpad itu semuanya receh; saya juga merasa minder karena tidak punya ilmu baking. Sungguh, ada rasa minder sendiri melihat teman-teman yamg sudah memiliki modal dalam ilmu.

Namun akhirnya saya menerima, bahwa yang namanya rasa minder itu entah kapan berlalunya; harus dimulai dari saya sendiri yang belajar lebih percaya diri.

Inilah saya tanpa harus jadi orang lain

Saya pun melangkah maju, saya datang ke sebuah sekolah dekat tempat tinggal. Karena kami tinggal di lingkup kecil, otomatis saya kenal dengan kepala sekolah dan beberapa wali murid di sana, meski tidak personal banget.

Saya datang dan meminta izin untuk berbagi ilmu mengenai bekal anak sekolah, karena ibu-ibu yang meninggalkan anaknya di bangku sekolah pasti membawakan bekel seperti nasi goreng dan lainnya. Dan bisa jadi, ada momen ketika ibu-ibu merasa penat dan buntu ide, mau masak apa lagi. Di sinilah saya rindu untuk berbagi mengenai passion saya akan bekal bento.

Di kelas bento pertama, saya meminta para peserta untuk membawa nasi dan mie instan sendiri, sementara saya menyediakan bahan lain seperti daun selada, air dan susu. Oh iya, susu di sini bukan bagian dari bentonya, melainkan hidangan untuk anak-anak yang dibawa, agar para orang tuanya bisa fokus mengikuti kelas. Tapi lucu juga, sering kali justru anak-anak ini dengan sendirinya mau berusaha "membantu". Pas lagi masak bento, ada yang berkomentar: "Taro sini ya, Mah." Lucu-lucu pokoknya!

Di kelas bento kedua, karena sekolahnya tidak memperkenankan makanan instan, saya meminta orang tua untuk membawakan telur dadar dan tempe. Saya berfokus mengajarkan cara mendekornya menjadi bekal yang menarik dan menerbitkan selera makan anak.

Setelah kelas pertama tuntas dijalani, saya merasa lega, bahagia, walaupun ada rasa ser-seran di hati juga. Saya sangat bersyukur di penghujung kelas, mereka senang dapat ilmu baru dan baru tahu bahwa apa yang selama ini mereka abaikan ternyata ada manfaatnya juga.

Nggak lama, saya diizinkan menjadi bagian dari program kelas parenting di sekolah itu. Bahkan kepala sekolah berkata, "Mbak, boleh nggak mengisi kelas di luar desa kita juga?"

Saya ingin terus menebarkan ilmu, karena saya mengerti, tidak semua orang mampu untuk bertumbuh, dan itu menjadi beban untuk saya. Saya ingin agar orang lain bisa bertumbuh dan berkembang. Walau harus memboyong bahan pangan sampai 11 kilogram naik odong-odong, itu pun saya jalani dengan ikhlas.

Singkat cerita, saya berkesempatan membuka kelas ketiga untuk kaum ibu di dusun sebelah. Di sana saya mengajarkan cara mengolah semua bagian semangka, dan itu mendapat apresiasi yang bagus. Ketua PKK di lingkungan pun turut meminta saya mengisi kelas.

Saya bukan orang yang berani bermimpi besar, namun bukan berarti saya tidak punya mimpi sama sekali. Visi saya ke depannya, mengangkat kuliner Kalimantan Timur agar makin dikenal, seperti kuliner Bali dan Sumatra. Saya ingin mewujudkan mimpi ini bersama teman-teman di Cookpad.